Marah Itu Jujur
Saya tidak sedang menyarankan orang untuk marah dan juga tidak begitu saja membenarkan kemarahan. Saya hanya sedang menyampaikan pendapat saya bahwa suatu kejujuran acapkali baru bisa terkuak dari kondisi marah seseorang.
Tidak banyak orang bisa blak-blakan memperkatakan rasa hatinya atau pikirannya yang mengandung penilaian negatif terhadap orang lain atau terhadap sesuatu hal, misalnya hal yang tidak disukai, mengesalkan, mengecewakan, menjengkelkan, hal yang dibenci, membuat sakit hati, menimbulkan kebencian dan sebagainya.
Sebagai sesama orang Indonesia, kita punya adat atau aturan atau norma umum yang tak tak tertulis yang kita sepakati bersama tentang "sopan-santun" dalam sikap, laku, dan tutur kata. Dari sopan-santun, kita juga punya yang namanya "jaga perasaan". Dari situ timbul juga yang namanya "tidak enak hati". Sebenarnya tidak suka, sebenarnya kesal, sebenarnya kecewa tapi "tidak enak hati" menyampaikan itu.
Hingga pada suatu waktu suatu perkara menimbulkan pertengkaran dan menyulut kemarahan. Di antara rangkaian kata-kata kemarahan tiba-tiba ada cetusan kata-kata yang isinya di luar konteks persoalan atau masih dalam konteks perkara tetapi tidak disangka kata-kata itu akan keluar dari mulut orang itu.
Masalah baru pun bisa timbul dari "kata-kata" yang tercetus itu. Dari satu pokok perkara timbul perkara lainnya. Bertambah menjadi dua, yaitu hal kata-kata yang mengejutkan itu.
Kata-kata yang tercetus dalam amarah memang sering menyakitkan. Pertanyaannya adalah darimanakah asal kata-kata itu?
Kata-kata dalam amarah menyembur dari pikiran dan perasaan seseorang. Kata-kata itu bisa saja sudah ada dengan jelas pada pikiran dan bisa juga masih berupa konsep acak yang kemudian baru membentuk format kata atau kalimat pada saat itu tercetus di bibir atau tertulis di ruang pesan singkat (SMS) atau di bilik chatting aplikasi komunikasi online.
Singkatnya, kata-kata itu bukan terlintas begitu saja atau baru ada pada saat itu namun sudah ada dalam rasa dan pikiran entah masih berupa uraian konsep atau gambaran umum atau sudah berbentuk format kata yang jelas.
Contohnya, kata-kata yang tercetus itu adalah “Dasar murahan!”. Kata “murahan” itu bisa sudah ada dengan jelas di pikiran atau di otaknya sudah ada kata itu. Namun, bisa juga kata itu belum tercantum pada pikirannya. Yang ada hanya sebuah pandangan umum atau gambaran yang terbit pada pikiran sebagai hasil dari pengamatan selama bersama orang itu atau dari kisah masa lalu orang itu yang dalam kondisi marah pandangan umum itu seketika mendapat istilahnya.
Mengapa itu baru tercetus atau baru tertulis pada saat marah?
Marah adalah luapan konteks diri yang sesungguhnya. Pada saat marah, ke-AKU-an menukik tajam ke posisi teratas di jiwa manusia menggeser segala pertimbangan perasaan orang lain dan logika umum bahkan norma yang berlaku umum dalam tatanan “budaya timur” kita. Tingkat kemarahan yang makin tinggi bukan hanya menggeser semua itu tetapi juga bisa meniadakan norma agama yang dianutnya. Yang ada hanya dirinya dan kemarahannya.
Akan tetapi, di sini kita tidak membicarkan kemarahan di taraf yang separah itu. Cukuplah kita ketahui bahwa marah adalah ruang bagi ke-aku-an manusia yang sejujur-jujurnya. Pada saat seseorang marah, pada saat itu, sebenarnya, ia sedang menyampaikan hal yang sejujur-jujurnya. Kata-kata dalam amarah adalah kata-kata terjujur dari seorang anak manusia di antara semua kejujuran yang dapat diucapkan oleh manusia.
Setelah amarah reda, kontrol kembali normal, ego manusia menurun, perasaan dan logika mulai mengambil tempatnya lagi, maka terdengarlah ucapan atau tulisan, "Maaf, itu hanya kata-kata emosi saja".
Ya, kata-kata itu memang hanya bisa tercetus dalam kondisi marah, sebab dalam kondisi biasa ke-aku-an manusia ada dalam ruang kebersamaan dengan orang lain. Ada pertimbangan akan “perasaan orang lain”. Lebih jauh, ada tatanan hidup yang mengatur ke-aku-an manusia yakni norma agama, budaya, sosial bahkan norma hukum yang menjadi satu kesatuan etika hidup manusia di alam yang tidak sendirian dihuninya dan tidak diciptakan olehnya.
Dari sini kita harus belajar terbuka untuk menyampaikan ketidaksukaan, kekesalan, kejengkelan, dan sebagainya yang menjadi ganjalan di hati atau bersitan di pikiran kita.
Budaya timur pastilah tidak meniadakan kejujuran rasa dan pikiran kita. Justru sebaliknya, dengan budaya timur kejujuran pun harus diungkap dalam kondisi sopan dan dengan cara yang santun.
Biasakan atau lumrahkanlah kejujuran sebagai topik pembicaraan dalam kondisi biasa atau normal walaupun itu menyakitkan. Dengan begitu kejujuran tidak memerlukan kondisi marah untuk dapat bersuara.
Kita memang memerlukan kejujuran tetapi kita tidak menginginkan kemarahan hanya untuk sebuah kejujuran.--
Posting Komentar untuk "Marah Itu Jujur "