Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Introspeksi Ibadah Jemaat

HEP

Bersekutu, ya. Beribadah?

"KAMI DATANG UNTUK MENYEMBAH DIA." 
Matius 2:2c

Ini adalah pernyataan orang-orang Majus. Jauh-jauh dari Timur ke Yerusalem mencari bayi, Sang Juruselamat dunia, untuk menyembah Dia. Demikian halnya IBADAH. Tujuan utama Ibadah, sama seperti yang dinyatakan oleh para Majus, adalah "UNTUK MENYEMBAH DIA". Teorinya demikan, tetapi apakah dalam praktiknya umumnya demikian?

Sebagai seorang Protestan, saya akhirnya berpendapat bahwa tidaklah heran bila ada orang Kristen yang tidak se-denominasi mengeluarkan statement bahwa tidak ada Roh di dalam ibadah gereja Protestan.

Walau begitu, semoga saja tidak berarti mengklaim bahwa "gereja Protestan tidak punya Roh Kudus" -- sebab saya masih percaya bahwa yang berpendapat demikan tidak "sedangkal" itu, tetapi mungkin yang dimaksud adalah kondisi ibadah kita secara umum tampak seakan-akan tidak ber-Roh. Lalu, mengapa bisa demikian?

Dimulai dengan pertanyaan: Roh Kudus itu ada di mana? Di gedung, di jalan, di rumah atau? Roh Kudus itu ada di dalam orang percaya (a.l. Rm 8:11; Gal 4:6; 1 Yoh 4:4). Roh Kudus terasa dan terlihat kuasa-Nya tergantung pada pribadi-pribadi orang yang punyaRoh Kudus itu sendiri, yakni apakah ia memberi dirinya dipimpin oleh Roh itu atau tidak (a.l. Rm 8: Gal 5). 

Jadi, bukan Roh Kudus itu tidak ada, tetapi pribadi-pribadi yang beribadah inilah yang membuat Roh itu dirasakan seolah-olah tidak ada dalam suatu ibadah jemaat. Karena apa? Karena jemaat memang bersekutu, tetapi bisa "tidak beribadah"!

Dalam kehidupan warga gereja kata “koinonia” (κοινωνία) adalah salah dari tri tugas panggilan gereja, yaitu: persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia), dan pelayanan (diakonia). Koinonia menunjuk kepada suatu hubungan antara pribadi satu dengan pribadi lainnya. Di dalamnya ada komitmen yang kuat, kesatuan, kebersamaan, tindakan bersama, partisipasi, kontribusi, keselarasan, keintiman, sharing, dsb.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bersekutu itu: ber·se·ku·tu v 1 berekanan (dng); berkawanan (dng); menggabungkan diri (dng); 2 berserikat (dng); menggabungkan diri (dng); 3 berkomplot; bersekongkol; 4 merupakan himpunan (persekutuan). Baik bersekutu dalam koinonia (Yun) maupun dalam bahasa Indonesia intinya bicara soal hubungan (relationship) manusia satu dengan yang lainya.

Dengan demikian, 'bersekutu' dalam ibadah jemaat artinya pribadi-pribadi yang percaya menyatukan diri guna secara bersama-sama menyembah Tuhan. Tujuan utama ibadah adalah menyembah Tuhan. Bersekutu untuk menyembah Tuhan.

PENYEMBAHAN (worship) inilah yang memang harus kita pertanyakan kembali bila melihat bagaimana jemaat saat beribadah: sikap tubuh, sikap dan cara menyanyi, sikap dan cara membaca Alkitab, sikap dan cara kita mendengarkan uraian Firman Tuhan, sikap berdoa, dsb termasuk bagaimana para pelayan mempersiapkan diri dan mengerjakan pelayanan yang saat itu dipercayakan kepadanya, dsb. 

Satu contoh, lihatlah bagaimana kita menyanyikan nyanyian-nyanyian jemaat. Ada yang menyanyi dengan mata yang liar ke sana ke mari, ada yang menyanyi asal bunyi, ada yang hanya mendengar orang menyanyi, ada yang menyanyi sambil mengutak-atik smartphone, dan lainnya. Akhirnya, lagu-lagu yang berjiwa Roh itu menjadi seakan-akan tidak ber-Roh dikarenanakan orang-orang yang menyanyikannya TIDAK MENYANYI SEBAGAI PENYEMBAH, melainkan hanya sebagai pemenuhan salah satu unsur liturgi belaka. 

Lalu, berdalih, lagu-lagu kita seperti Kidung Jemaat, Pelengkap Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Nyanyian Baru, Nyanyian Rohani, Mazmur, dsb seakan-akan tidak menyentuh batin kita. Mengapa? Apakah lagu dan syairnyakah yang tidak bagus? Bukan! Kitalah yang menyanyikan lagu itu dengan tidak sebagaimana seharusnya kita menyanyikannya.

Ini juga ditentukan oleh pemimpin ibadat. Jika pemimpin ibadat menyanyikan lagu tanpa menjiwai syairnya, maka itu sangat kuat memengaruhi jemaat dalam bernyanyi. Bagaimana mungkin menuntut jemaat bernyanyi sebagai penyembah, sedangkan pemimpin ibadat sendiri tidak melakukan hal yang sama?

Semua nyanyian yang namanya Nyanyian Rohani atau Nyanyian Jemaat atau Nyanyian Gerejawi bukanlah nyanyian untuk sedap-sedapan telinga dan perasaan. Bukan pula ucapan bibir belaka. Semua nyanyian itu bila dilantunkan oleh seorang percaya menjadi lantunan lagu seorang PENYEMBAH TUHAN. Oleh sebab itu, bukan saja bibir dengan suara yang bernyanyi, tetapi juga seluruh JIWANYA, TUBUHNYA, dan ROHNYA BERNYANYI. 

Namun, lihatlah bagaimana jemaat kita bernyanyi? Di mana mulut, di mana pikiran, di mana tangan.  Masing-masing jalan sendiri. Mulut menyanyi, tetapi pikiran entah ke mana, dan tangan mengutak-atik segala yang tidak pantas lagi diutak-atik pada saat beribadah. Akan tetapi sayang sekali, ini seringkali tidak mendapat perhatian dari kita

Hal lain pula, nyanyian jemaat yang berbait-bait umumnya jarang sekali dinyanyikan sepenuhnya. Seolah-olah nyanyian jemaat hanyalah selingan, bukan bagian utama dalam suatu ibadahYang seringkali barulah dinyanyikan berbait-bait adalah nyanyian pada bagian persembahan. Alasannya? Karena persembahan membutuhkan waktu yang lebih panjang.

Coba kalau di luar persembahan, lihat reaksi jemaat. Tidak semua menyelesaikannya dengan cara yang benar. Satu bait saja asal bunyi, apalagi lima bait? Seperti tidak suka memuji Tuhan berlama-lama. Rata-rata 1-2 bait saja, cukup. Lebih dari itu, protes; "Terlalu panjang lagunya".

Mengapa? Karena kehadiran dalam ibadah adalah lebih kepada "bersekutu" dari pada "beribadah". Kalau benar-benar beribadah, pulang pun rasanya tidak ingin lagi, karena menemukan keindahan beribadah, yakni bahwa ibadah adalah persekutuan dengan Tuhan, bukan persekutuan dengan manusia belaka.

Demikianlah kita cenderung tidak membawa diri kita ke dalam penyembahan. Bersekutu, tetapi tidak beribadah. Ada, tetapi tidak menyembah. Akhirnya, kekhusukan (kesungguhan) ibadah seakan jauh dari ibadah itu sendiri. Kegelisahan pun tak terelakkan.

Kecenderungan kegelisahan itu juga begitu jelas bila suatu ibadah berlangsung lama. Menyanyi lama, gelisah. Berdoa lama, gelisah. Apalagi bila khotbah lama. Awalnya sungguh-sungguh. Lambat laun mulai mencari sandaran untuk mengambil posisi nyaman. Mulai menutup mata seolah-seolah sedang menyimak dengan khusuk, padahal ngantuk dan bukan tidak pernah ada yang telah sampai di alam mimpi. Tertidur.

Ada yang berdoa sambil memangku kaki. Ada yang tidak berdoa melainkan memerhatikan orang-orang di sekitarnya. Lebih parahnya lagi, saat berdoa dimanfaatkan untuk mengirim atau membalas pesan di smartphone atau keluar untuk menelpon.

Dan, ada pula yang seolah menunggu waktu Doa Syafaat menjadi -- seperti zaman Sekolah Dasar ada yang namanya -- "Jam Keluar Main" atau "Jam Istirahat". Waktu Doa Syafaat menjadi waktu untuk ke toilet bahkan waktu untuk merokok.

Bagi yang mengantuk, waktu Doa Syafaat menjadi kesempatan untuk tidur sejenak. Ketika tiba pada Doa Bapa Kami, yang keluar buru-buru masuk, yang sibuk dengan handphone segera menyimpan handphonenya, dan yang tidur segera bangun atau dibangunkan oleh yang duduk di sampingnya  Lalu, semua berucap Doa Bapa Kami tanpa merasa ada yang tidak sepatutnya kita lakukan.

Tidak berpikir sedikit pun bahwa Tuhan -- yang katanya kita datang untuk menyembah Dia -- melihat semua fakta itu. Mengapa? Salah satunya adalah, karena kehadiran dalam ibadah adalah lebih kepada bersekutu dari pada beribadah.

Inikah persekutuan yang menyembah itu? Tuhan Yesus, Kepala Gereja, akhirnya berkata:

"(7) Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: (8) Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku." (Matius 15)

Ibadah Jemaat bukan media untuk saling berkumpul seperti perkumpulan umum dalam dunia. Kamus Bahasa Indonesia mendefenisikan ibadah itu adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam Perjanjian Lama kata 'Ibadah' dari bahasa Ibrani: 'avoda' (עבודה) dan dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani umumnya adalah: latreia' (λατρεία) memiliki arti kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan atau penghambaan dengan rasa takut penuh hormat, kekaguman, ketakjuban, penuh puja. Dalam bahasa Inggris: worship, adoration yang berarti pemujaan, penyembahan, cinta yang mendalam, cinta sejati. Maka IBADAH ADALAH AKU DAN TUHAN, kita dan Tuhan. Bukan : aku dan kau atau kita dan kita.

Yang tampak lebih menonjol di ibadah jemaat adalah aku dan kau, kita dan kita (bersekutu). Suatu pertemuan manusia percaya dan manusia percaya lainnya, anggota jemaat dan anggota jemaat lainnya. Dan, karena lebih kepada bersekutu dari pada beribadah, maka bukan hanya diri pribadi yang hadir tetapi status, kedudukan, jabatan, dll juga ikut serta.

Ketika seseorang memandang ibadah adalah dirinya dan Tuhan, maka ia akan dapat berkata "I'm nothing". Sikap, cara, ekspresi yang keluar dari dirinya akan dapat seperti Raja Daud yang sanggup dengan jujur memuliakan dan menyembah Tuhan tanpa harus menjaga "image" dirinya di hadapan manusia (2 Sam 6). Kesungguhan seseorang beribadah pasti akan terlihat dengan mata manusia per karakter manusia itu masing-masing.

Bila gereja tidak memerhatikan hal ini, maka pertanyaannya adalah apa yang gereja cari dari ketatnya jadwal-jadwal ibadah jika ibadah itu lebih dibiarkan bersifat "bersekutu" saja dari pada "beribadah"? ***

©HEP

Posting Komentar untuk " Introspeksi Ibadah Jemaat"